Selamat Datang di Web Blog Purna Praja STPDN/IPDN Kabupaten Ketapang

16 October 2008

Sultan dan Pilpres

DALAM sebuah acara interaktif di TVRI Jogja, seorang pemirsa bertanya tentang sikap Sri Sultan HB X dalam pencalonan presiden. Pertanyaannya: Menurut analisis panjenengan, sebenarnya Sri Sultan HB X itu mau mencalonkan diri sebagai presiden atau tidak?
Pertanyaan seperti ini sungguh sudah sangat sering ditanyakan berbagai kalangan di berbagai forum di berbagai daerah akhir-akhir ini. Pertanyaan itu sering pula dilontarkan pejabat pemerintahan, kader partai, aktivis LSM, maupun warga masyarakat pada umumnya. Pertanyaan tersebut juga menggema di berbagai kota, mulai dari Jakarta, Surabaya, Banda Aceh, Palembang, Palangkaraya, Kapuas, Balikpapan, Ternate, Manado, sampai ke Sorong, Jayapura, Biak Numfor, bahkan di pedalaman Papua seperti Wamena, Mulia dan Ilaga. Di kota-kota yang penulis kunjungi dalam dua tahun terakhir, baik dalam kegiatan penelitian, mengajar, memberikan pelatihan, ataupun karena diundang berceramah di sana, pertanyaan itu muncul.
Walaupun pertanyan tentang kepastian pencapresan Sri Sultan HB X sudah sangat sering dilontarkan, sampai saat ini sungguh sangat sulit menjawabnya. Mengapa? Bukan kapasitas penulis untuk bisa menjawab pertanyaan penting tersebut. Hanya orang-orang atau tokoh yang sangat dekat dengan Sri Sultan HB X lah yang bisa menjawabnya. Bahkan sebenarnya, hanya beliau sendirilah yang pantas, bisa dan berhak menjawabnya.
Namun demikian, karena sedemikian seringnya mendapat pertanyaan seperti itu, tak ada salahnya jika kita mencoba mencari jawabannya. Dalam berbagai kesempatan di berbagai forum yang diadakan di banyak kota, sering penulis sampaikan: Sebagai rakyat Indonesia dan warga Yogyakarta, saya sangat ingin agar Sri Sultan HB X maju sebagai Calon Presiden RI pada Pilpres 2009. Sedangkan apakah Sri Sultan HB X akan mencalonkan diri atau tidak, sekali lagi, hanya beliau-lah yang tahu.
Sangat mungkin, keinginan agar Sultan maju sebagai capres adalah keinginan sebagian besar masyarakat Indonesia baik yang berada di Jawa maupun di luar Jawa. Pertanyaan-pertanyaan yang muncul di berbagai kalangan masyarakat di berbagai daerah di Indonesia mungkin menggambarkan adanya keinginan masyarakat untuk tampilnya calon alternatif yang layak dipilih. Masyarakat ingin memilih calon alternatif yang belum terkontaminasi virus kekuasaan yang banyak menyerang elite politik yang selama ini beredar di Jakarta.
Apa plus minusnya nilai Sultan HB X untuk diusung sebagai Calon Presiden RI tahun 2009? Pertama, berbeda dengan figur-figur lain yang tampak sangat berambisi menjadi capres dengan mengerahkan segala sumberdaya yang dimilikinya.
*Bersambung hal 23 kol 1
Sejak awal Sri Sultan HB X tidak menampakkan ambisi pribadi untuk merebut kekuasaan. Walaupun desakan untuk maju sebagai capres banyak disuarakan berbagai elemen masyarakat di Yogyakarta maupun daerah-daerah lain di seluruh Indonesia, sampai saat ini belum ada ketegasan sikap dari beliau apakah akan maju atau tidak. Tanda-tanda untuk maju menjadi capres memang sudah mulai membersit dari pernyataan-pernyataan beliau di berbagai acara, yang intinya mempersilakan masyarakat untuk mencalonkan dirinya jika memang masyarakat menghendaki.
Jika nantinya harus benar-benar tampil sebagai capres, nampak jelas bahwa motif utama yang mendorongnya maju adalah niat dan semangat untuk mengabdikan potensi diri dan kepemimpinannya bagi kemajuan dan kesejahteraan masyarakat. Tentu saja terdapat banyak kritik terhadap Sri Sultan HB X terkait sikapnya itu. Salah satunya disebabkan oleh ketidakjelasan dan ketidaktegasan sikap. Para pengritik menganggap Sri Sultan HB X berlindung di balik kedudukannya sebagai Raja, yang memang terbiasa dengan kata-kata dan sikap yang sulit ditebak apa makna sesungguhnya. Pengritik lain mencoba memahami kegamangan sikapnya, yang bersumber dari keraguan untuk menang dan ketidaksiapan untuk kalah. Menurut para pengritik, beliau hanya akan maju sebagai capres jika yakin benar bahwa dirinya akan menang. Implikasi politik dan kulturalnya akan sengat besar jika seorang Raja ternyata kalah dalam pencalonan politik sebagai Presiden. Karena kegamangannya itu, bahkan ada sekelompok masyarakat yang menganggap sikap beliau cenderung molah-malih alias tidak konsisten.
Kedua, Sri Sultan HB X memiliki modal sosial yang sangat kuat. Kedudukannya sebagai Raja Ngayogyakarta Hadiningrat relatif sangat populer di seluruh wilayah Indonesia. Kesederhanaan sikap dan kharisma kepemimpinan kulturalnya menjadi magnet ampuh yang mampu membangkitkan rasa hormat dari pemimpin-pemimpin kerajaan ataupun kasultanan lain di Nusantara. Peran kepeloporan Kraton Yogyakarta dalam masa-masa awal NKRI juga selalu menjadi rujukan penting yang diakui seluruh masyarakat Indonesia. Dukungan juga datang dari warga masyarakat Jawa yang tergabung dalam berbagai paguyuban keluarga Jawa di hampir semua wilayah eks transmigrasi di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, sampai ke Papua. Semua itu adalah modal sosial yang sangat besar artinya bagi pencapresan Sri Sultan.
Sisi lain dari kuatnya modal sosial tersebut adalah kelemahan modal politik maupun modal finansial. Dari sisi politik, sampai saat ini belum ada kejelasan dukungan dari partai politik atau gabungan partai politik yang dominan dalam percaturan politik nasional. Masing-masing parpol besar atau gabungan parpol-parpol kecil nampaknya sudah memiliki jagonya sendiri-sendiri. Para jago itu pada umumnya mereka yang memiliki modal finansial kuat sehingga sudah menginvestasikan uangnya untuk membesarkan parpol-parpol tersebut. Sedangkan Sri Sultan HB X adalah calon yang, untuk kategori tertentu, bisa dikatakan berasal dari luar partai politik. Partai Golkar mungkin bisa diharapkan untuk mengusungnya. Tetapi itu artinya harus melewati lika-liku proses politik internal yang tidak mudah, termasuk mengalahkan Ketua Umum yang sudah akan dicalonkan sebagai wapres.
Terlepas dari analisis plus minus di atas, semua kelemahan ataupun kendala yang menghadang sebenarnya bisa dicarikan jalan keluarnya. Dengan memanfaatkan nilai-nilai plus yang dimiliki, maka berbagai potensi kekurangan bisa dicarikan solusi. Sangat banyak kekuatan-kekuatan politik maupun kekuatan ekonomi yang siap memberikan dukungan. Masalahnya hanya satu, mereka semua menunggu kepastian. Sebaiknya memang tidak tergesa-gesa, namun juga tidak terlalu lama menunda-nunda. Sudah pasti, laku spiritual religius secara fokus akan menjadi langkah terbaik untuk menentukan pilihan. Apakah pilihan itu? Maju ke pentas nasional dan bersiap untuk pengabdian lebih besar, atau tetap berkonsentrasi melindungi dan mengayomi rakyat Yogyakarta tanpa perlu tergoda gemerlapnya kekuasaan di Jakarta.
sumber : kr.co.id

No comments:

Post a Comment

Tulis komentar anda disini

Total pageviews bulan ini