Selamat Datang di Web Blog Purna Praja STPDN/IPDN Kabupaten Ketapang

16 October 2008

Krisis Ekonomi Indonesia

RUNTUHNYA ekonomi Amerika Serikat (AS) sebagai adikuasa ekonomi dunia telah merembet ke banyak negara. Akankah hal itu berdampak pada terjadinya krisis ekonomi Indonesia?
Beberapa pengamat ekonomi menyangsikan pengaruh buruk runtuhnya ekonomi AS tersebut pada perekonomian nasional.
Kecuali hanya pada pasar modal dan karena pasar modal hanya memiliki kontribusi kecil pada perekonomian nasional maka ekonomi nasional kita akan terhindar dari krisis. Benarkah perbankan dan sektor riil kita aman?
Perekonomian AS yang runtuh walau telah menerima persetujuan Kongres AS memperoleh �dana talangan� (bailout) sebesar 700 miliar juta dolar AS, tetapi ternyata hal itu hanya sedikit menahan kecepatan runtuhnya pasar AS. Akibatnya bagi eksportir nasional tentunya menjadi kabar buruk. Berbagai produk ekspor menjadi terhambat untuk dijual ke AS, Eropa dan beberapa negara yang terkena dampak domino runtuhnya ekonomi AS tersebut. Akibatnya pemasukan dari penjualan hasil ekspor produk Indonesia pasti menurun di pasar-pasar yang biasanya menampung produk kita. Disamping itu banyak produk kerajinan dan manufaktur kita masih tergantung dari impor bahan baku. Krisis ekonomi terbukti telah menjadikan harga bahan baku naik cukup tajam. Sebagai contoh bahan baku perak telah naik dari 400 dolar AS/kg menjadi 600 dolar AS/kg. Kenaikan harga bahan baku perak sebesar 50%/kg tersebut tentunya berdampak pada kenaikan harga produksi dan harga jual produk kerjainan perak, padahal pasar-pasar tradisional kerajinan perak sebagian besar ke AS. Lemahnya penyerapan pasar juga menyulitkan pasar ekspor mebel, kerajinan tas pandan dari Lamongan menjadi contoh lainnya adanya kesulitan penjualan produk kerajinan Indonesia.
Industri manufaktur Indonesia juga telah menjerit dengan dampak krisis ekonomi AS tersebut. Selain karena melemahnya demand produk manufaktur Indonesia di negara-negara tujuan ekspor, turunnya nilai rupiah terhadap dolar AS menjadi pukulan ganda yang dirasakan industri manufaktur Indonesia. Industri manufaktur elektronik, dan besi baja menjadi contoh lain dari beberapa sektor riil Indonesia yang sudah kena dampak krisis ekonomi AS tersebut. Artinya pemerintah perlu memperhatikan sektor riil untuk kelangsungan produksi, penyerapan tenaga kerja, penerimaan devisa dari hasil ekspor serta kelangsungan ekonomi nasional.
Pembukaan pasar ekspor baru di luar pasar tradisional yang selama ini dilayani perlu terus diupayakan oleh para eksportir dengan bantuan pemerintah walaupun hal itu bukan hal yang mudah karena masih perlu waktu dan biaya yang tidak kecil. Begitupula perlindungan pasar domestik dari serbuan produk elektronik murah dari Cina menjadi bukti sektor riil kita tidak sepenuhnya aman.�
Pemerintah juga harus terus melaksanakan kebijakan mendukung perkembangan UMKM yang terus terpuruk, akibat tingginya biaya produksi, rendahnya akses modal dan pemasaran serta rendahnya daya beli konsumen. Perlindungan pasar perlu segera dilakukan untuk melindunginya dari serbuan produk murah berkualitas bersaing dari Cina, atau negara-negara yang mengalihkan pasar produknya dari pasar AS ke pasar Indonesia. Rentannya sektor riil dari dampak krisis sebenarnya sangat nyata dan seringkali diabaikan. Dampak kehancuran sektor riil di Indonesia sangat besar karena menyangkut penyerapan tenaga kerja yang besar, sumber pendapatan masyarakat pekerja, pajak dan retribusi daerah, serta sumber kegiatan perekonomian daerah.
Perbankan juga tidak terlalu aman dari dampak lanjutan krisis AS tersebut. Melemahnya kepercayaan investor pada pasar modal telah menyebabkan jatuhnya bursa saham di banyak negara dan Bursa Efek Indonesia termasuk yang �tinggi� kejatuhan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG)-nya. Terkuak pula kejatuhan IHSG tersebut juga dikarenakan lemahnya peraturan di pasar modal yang dimanfaatkan oleh para spekulan untuk melanggar/menyiasati peraturan yang ada untuk mengambil keuntungan dari kekisruhan yang terjadi. Kebijakan BI menaikkan BI rate menjadi 9,50 persen untuk meredam inflasi bukanlah langkah yang bijaksana, karena dengan tingkat bunga pinjaman saat ini saja sektor riil sudah sangat berat untuk dapat memperoleh tambahan modal. Lagipula kenaikan BI rate yang terus berlangsung dan kemungkinan akan naik lagi belum terbukti dapat menahan inflasi. Pengendalian penggunaan pinjaman konsumtif seharusnya menjadi prioritas BI, disamping kemudahan penambahan modal untuk produksi agar supply barang meningkat dan dapat menurunkan inflasi.
Disisi lainnya sudah terlihat para investor juga mulai memindahkan bentuk dana rupiahnya menjadi dolar AS untuk mengantisipasi dan berspekulasi agar kerugiannya dapat diminimalkan atau bahkan dapat meraup keuntungan. Untuk mengantisipasi para nasabah menarik dananya secara besar-besaran (rush) maka� jumlah dana yang dijamin oleh Lembaga Penjaminan Simpanan yang selama ini sebesar Rp 100 juta perlu dinaikkan untuk memberikan rasa aman bagi para nasabah sehingga mereka tetap menaruh dananya di bank. Ulah para spekulan dolar AS juga perlu diwaspadai oleh pemerintah dan perbankan dengan menugaskan pegawai BI ke bank-bank yang tinggi jual-beli valasnya untuk mengawasi dan menindak ulah spekulan agar tidak mendorong terjadinya krisis ekonomi.�
Meskipun pemerintah dan BI telah mengeluarkan 6 strategi untuk menghindari krisis, tetapi perlu diawasi pelaksanaannya agar cepat dan tepat terlaksana. Jangan sampai rencana strategi tersebut tinggal rencana atau kurang efektif.� Sebagaimana kebijakan-kebijakan pemerintah terdahulu yang hanya berhenti di atas kertas tidak sampai pada implementasi sesuai tujuan dan sasaran yang telah dicanangkan.

No comments:

Post a Comment

Tulis komentar anda disini

Total pageviews bulan ini