Di jaman kolonial kehadiran dan kiprah Partai diawasi secara ketat oleh penguasa, namun para pendukungnya gigih memanfaatkannya sebagai kekuatan penyadaran rakyat secara taktis dan strategis, seperti pembelaan di pengadilan. Di masa kekuasaan Jepang partai dilarang, sehingga kaum pergerakan kemerdekaan harus berjuang secara tersembunyi, baik melalui Organisasi Masyarakat yang diizinkan dan dimaksudkan untuk membantu Jepang, maupun lewat gerakan bawah tanah. Di era Demokrasi Liberal, Partai mendominasi kekuasaan Negara, sekalipun masih ada peran serta Ormas dan Perseorangan di dalam Pemilu 1955. Partai harus berbagi peran dengan Golongan Fungsional sampai 50 persen di masa Demokrasi Terpimpin, sementara hanya berperan sebagai kamuflase Demokrasi di bawah penguasa Demokrasi Pancasila. Dimasa Reformasi ini, dominasi Partai dihidupkan kembali sedemikian jauhnya, sehingga menjurus kepada kondisi monopolistik. Tapi perlu dicatat bahwa Partai dewasa ini tidak jelas betul hubungannya secara anatomis dengan Partai pendahulunya. Pasti ada sejumlah Partai yang punya sejarah panjang, akan tetapi bukan saja terkait secara parsial, malah lebih secara nuansa.
Karena itu, tidak mengherankan apabila peran Partai dewasa ini menjadi kehilangan jati diri dan arah perkembangannya, sehingga terjebak oleh kecenderungannya yang monopolistik. Motivas politisi Partai mendapatkan kekuasaan Negara, caranya mempertahankan serta kinerjanya memperlakukan kekuasaan yang dipunyai, secara keseluruhan menggambarkan watak monopolistik dimaksudkan, Analisis ideologi dan struktural serta behavior atas peran politisi dan partainya dalam era Reformasi ini, menjelaskan keseluruhan watak monopolistik tersebut.
Dari sisi ideologi, kiprah Partai tampak semakin pragmatik. Kondisinya dewasa ini merupakan pematangan dan penguatan dari prosesnya sejak era Demokrasi Terpimpin, dimana kekecewaan Presiden Soekarno atas kegagalan Pemilu 1955 menghasilkan Partai mayoritas mutlak, sehingga operasi demokrasi melalui kebebasan sejak penyerahan kedaulatan oleh Belanda, semakin tidak diimbangi dengan kekuatan politik yang dibutuhkan untuk menjamin Pemerintahan yang kuat dan stabil serta efektif. Dengan mengenyampingkan ideologi demokrasi, maka kegagalan Pemilu itu dijawab Presiden Soekarno dengan mengkombinasikan peran Partai dengan Golongan Fungsional di dalam DPR GR yang dibentuknya setelah mengumumkan Dekrit untuk kembali menggunakan UUD 1945. Di bawah rejim Orba, pragmatisme bukan saja dikembangkan dalam kehidupan politik, akan tetapi dilebarkan kedalam seluruh aspek kehidupan. Sekarang politisi Partai telah mengembangkannya menjadi politik kepentingan, dalam artian kepentingan diri dan golongan dijadikan motif untuk bersikap dan bertindak di dalam perjuangan kekuasaan dan penggunaan kekuasaan Negara. Maka Masyarakat atau Bangsa Indonesia menjadi ‘terbiasa’ dengan sikap politisi Partai, yang membiarkan rakyat dan Negara merugi, asal bukan dirinya dan partainya. Para penguasa dan penyelenggara Pemerintahan merasa normal apabila bersikap dan bertindak tidak visioner, seperti membuat UU hanya untuk lima tahun dan mengalokasikan anggaran terbanyak untuk keperluan rutin. Mereka mengabadikan posisi sebagai politisi semasa berkuasa, sehingga melalaikan kewajiban karena enggan mengabdikan diri sebagai Negarawan dan Manajer politik dan pemerintahan. Di dalam UU pemilu para politisi penguasa tidak membedakan syarat untuk menjadi peserta Pemilu dengan syarat untuk menjadi pemimpin politik dan pemerintahan, untuk memudahkan menjadi Calon Pemilu lewat kriteria yang kabur. Semua kondisi itu memungkinkan politisi Partai untuk memperoleh kekuasaan Negara secara relatif mudah, dan apabila sudah berkuasa tidak perlu bekerja secara ideal sebagaimana seharusnya dituntut oleh institusi seperti Negara.
Struktur oligarki sistem kekuasaan Partai dan Negara yang dikembangkan oleh politisi Partai, pertama kalinya ditampilkan melalui pemusatan kekuasaan. Sentralisasi kekuasaan Partai berlangsung melalui dominasi Pengurus Pusat dalam menentukan kebijaksanaan organisasi partai, dalam artian tidak boleh bertentangan dengan sikap DPP dan khususnya Ketua Umum. Dan sentralisasi kekuasaan Negara, khususnya antara Pusat dan Daerah, diperlihatkan dalam kebijaksanaan politisi Partai yang berkuasa di Lembaga Pemerintahan, seperti ketentuan tentang prosedur pembuatan dan pembatalan Perda dalam UU 32/03 sebagai pengganti UU 22/99 yang bernafaskan otonomi luas dan nyata. Kedua adalah praktek pengalihan (kudeta) kedaulan rakyat menjadi kedaulatan rakyat, melalui berbagai kebijaksanaan Negara seperti Calon Pemilu hanya oleh partai, penentuan pemenang Pemilu berdasarkan nomor urut Calon, dan kontrol Fraksi kepada anggota Legislatif serta hak recall Faksi/Partai terhadap anggota Parlemen, sebagaimana digariskan dalam UU politik. Ketiga, kepentingan sepihak politisi dan Partainya, menjebaknya untuk mementingkan kontrol terhadap rakyat sehingga mengutamakan mobilisasi ketimbang partisipasi. Keempat ialah pengutamaan realisasi hak politisi dan partainya, dibandingkan dengan penunaian kewajibannya terhadap Masyarakat dan Bangsa serta Negara. Hal itu antara lain terbaca dari pembentukan banyak partai dengan alasan demokrasi, sementara partai itu membiarkan dirinya tidak berdaya untuk menjamin pembentukan Pemerintahan yang kuat dan efektif serta stabil. Dan kelima adalah totalitas kondisi tersebut yang memberi keleluasaan bagi elit Partai untuk memanfaatkan organisasi bagi pemenuhan kepentingannya, sebagaimana bila mereka berkuasa atas Negara.
Dan tingkah laku politisi Partai yang berwatak egois, tercermin dalam penolakannya atas pengggunaan Sistem Pemilu Mayoritas (distrik). Sebab eksistensi penguasa Partai di dalam Sistem Multi Partai sebagai produk Sistem Pemilu Proporsional adalah terjamin. Begitu pula dengan hak – hak istimewa mereka. Karenanya menolak Sistem Pemilu Mayoritas yang memungkinkan terbentuknya Sistem Partai kuat untuk menjamin efektifnya penggunaan Sistem Pemerintahan Presidentialisme, sehingga berkemampuan menyelesaikan masalah sambil membuat kemajuan. Sikap politisi Partai terbukti egois apabila diingat betapa mereka enggan dan gagal membentuk koalisi secara efektif dan stabil dan moyoritorian. Bersamaan dengan itu, politik elitis yang dipertahankan oleh politisi Partai, sebagaimana terbukti dari sikapnya yang mengutamakan kepentingan sendiri seperti dalam alokasi anggaran dan berbagai kebijaksanaan publik yang melindungi kepentingan sendiri. Penolakan pembuktian terbalik dan pemanfaatan azas retroaktif dalam perkara korupsi dan pelanggaran HAM berat, adalah strategi untuk menjaga keamanan diri, sekalipun menyulitkan penegakan hukum untuk membela rakyat banyak. Sikap mau menang sendiri dalam membuat kebijaksanaan publik yang tidak partisipatif serta tidak transparan untuk secepatnya dituangkan ke dlaam UU, pada dasarnya merupakan tindakan elit Partai yang berkuasa secagai memaksakan kehendak, tak pelak lagi menggambarkan kelakuan egoistik mereka. Apabila diingat kembali bahwa maksud pembentukan Negara yang melalui hukum akan berfungsi menegakkan keadilan, maka dengan sendirinya pembuatan dan penggunaan hukum untuk melindungi kepentingan sendiri merupakan pelanggaran etik yang serius. Apalagi bila diamati betapa dilemahkannya pelaksanaan kewenangan Badan Kehormatan (BK) lembaga legislatif. Lebih jauh, egoisme para politisi Partai secara gamblang terbaca pada saat politisi Partai berupaya melalui UU Pemilu yang dibuatnya untuk meluaskan wilayah kekuasaan ke dalam DPD.
Perluasan arena kekuasaan politisi Partai ke DPD, secara universal memang lazim di dalam kehidupan demokrasi. Tapi praktek yang hendak dilakukan di Indonesia tentulah harus memenuhi keseluruhan persyaratan demokrasi universal tersebut. Untuk itu, bukan saja diperlukan politisi yang dewasa dan matang sebagaimana diperlihatkan melalui kearifan dan kapabilitas kepemimpinannya yang diperoleh melalui pengalaman panjang, melainkan juga pelembagaan Partai yang kuat berdasar prinsip dan praksis demokrasi, sehingga politik berproses secara kompetitive dan menghasilkan kebijaksanaan publik yang tepat (bermanfaat). Apabila persyaratan itu tidak terpenuhi, apalagi masih jauh dari kenyataan, maka dapatlah disimpulkan bahwa perluasan wilayah kekuasaan Partai itu tidak lain dari realitas monopolisasi kekuasaan Negara.
Dewasa ini monopoli peran politisi Partai sudah sampai kepada momen yang membahayakan kehidupan dan perkembangan demokrasi indonesia yang berusia sangat muda. Demokrasi menjadi rentan terhadap Sistem Kekuasaan Totaliterianisme yang merupakan bawaan dari sistem monopoli kekuasaan Negara oleh satu golongan warga masyarakat yaitu Politisi Partai. Monopolit itu itu mengancam hak Warga Masyarakat yang tidak berpartai, yang sejak Amandemen UUD 1945 dijamin antara lain melalui DPD. Lagipula monopoli itu mengancam eksistensi Perwakilan Wilayah (daerah) oleh warga dari daerah itu secara otonom, karena bila Wakil Wilayah itu dari Partai yang mempraktekkan sentralisasi kekuasaan akan mengabaikan kepentingan daerah sebagaimana selama ini berlangsung. Lagipula monopoli kekuasaan yang digalakkan oleh politisi Partai ini mengingatkan siapapun akan perilaku militer sebagai penguasa Masyarakat dan Bangsa serta Negara Indonesia di era Orde Baru.
Patut dikritisi secara tajam bahwa monopolisasi kekuasaan Negara oleh politisi Partai melalui UU pemilu 2008 dewasa ini, pada hakekatnya lebih merupakan kepentingan sendiri. Sebab sebelum monopoli kekuasaan oleh politisi Partai diperluas dari kondisinya dalam dan pos Pemilu 1999 dan 2004, politisi dan Partai tidak cukup berhasil (efektif) menggunakan kekuasaan yang di punyai untuk menanggulangi permasalahan Masyarakat dan Bangsa serta Negara. Aneka masalah berupa macam – macam pelayanan publik, penegakan hukum, pengembangan mikro ekonomi dan pembinaan wilayah bukannya semakin teratasi melainkan semakin menjadi banyak dan rumit.
Permasalahan yang berakumulasi terus dan semakin rumit itu, merupakan konsekuensi langsung dari ketidakberhasilan politisi Partai membangun, dalam artian memperkuat fundasi kehidupan politik kenegaraan Indonesia. Fundasi dimaksudkan ialah Pemimpin politik dan pemerintahan yang kapabel, dan sistem Partai yang kuat (mayoritas), serta Sistem Pemerintahan yang koheren dan sinergis.
Adalah kegagalan politisi Partai memperkuat fundasi kehidupan politik kenegaraan itulah yang menyulitkan mengoperasikan demokrasi secara maksimal (bandingkan dengan Lipset dan Lakin, The Democratic Century, Norman: 2004), sehingga hasilnya adalah demokrasi minimal dalam artian pemilu hanya berfungsi untuk menghasilkan penguasa, sementara Pemerintahan pos Pemilu tidak mampu mengoptimalkan realisasi HAM (Demokrasi Optimal), dan lebih tidak mampu lagi menghasilkan public policy yang relevan, sehingga gagal mencukupi public goods dan menjamin proses politik secara damai., yang merupakan ciri demokrasi maksimal. Dengan begitu pemilu benar merupakan ‘pesta’ kaum elit terutama politisi penguasa dan jauh dari memberi nikmat kepada rakyat, kecuali sebagai penonton alias peserta ‘pesta demokrasi’ secara pasif. Demokrasi menjadi elitis dibawah dominasi politisi Partai.
Mengingat kondisi Negara Indonesia yang semakin berbau Negara gagal, sebagaimana terbukti dari ketidak fektifan Pemerintahan hasil pemilu, harus disadari secepatnya bahwa diperlukan perubahan secara substantif. Karena secara teoritis ekonomi pasar tidak bisa diandalkan oleh Negara seperti Indonesia (Stiglitz, Dekade Keserakahan, Marjin Kiri 2006), maka mau tidak mau pembaharuan fundasi kehidupan politik kenegaraanlah yang logis diandalkan. Penguatan fundasi itu lewat Sistem dan Penyelenggaraan Pemilu kompetitive, dimaksudkan sepaya prinsip (ideologi) bernegara dipedomani secara konsisten, di samping kekuasaan ditata secara berkeseimbangan, dan tingkah laku politik berkebebasan dan kompetitive bermuara kepada kesepakatan politik pro rakyat. Apabila prinsip dan cita – cita demokrasi dijadikan arah perjuangan politik maka berpeluang membentuk keseimbangan antar Lembaga Negara dan antar kekuatan politik (partai) mayoritas dengan minoritas serta antara Pemerintah Pusat dengan Daerah yang dijadikan tatanan dasar kehidupan politik kenegaraan, sementara para politisi penguasa bertindak sebagai negarawan dan pemimpin pembaharu.
Sejarah sudah membuktikan bahwa amatlah sukar bagi para politisi Partai melakukan pembaharuan itu secara sadar dan mandiri. Belitan kepentingan diri dan golongan menumpulkan pikiran dan memandulkan tindakan mereka. Karena itu selalu diperlukan inisiatif dan tekanan pihak lain, supaya politisi Partai berubah dan maju. Pihak lain itu ialah komponen masyarakat seperti kaum intelektual kalangan menengah , pers, mahasiswa, LSM dan sebagainya. Sementara itu Elit Lokal mulai memperliihatkan kiprahnya, sekalipun masih memperjuangkan kepentingan sendiri. Tapi kekuatan dan kewenangan formal pembaharu yang amat potensial di era pos amandemen UUD 1945 adalah Mahkamah Konstitusi RI. Berbagai keputusan MK telah berakibat langsung terhadap kondisional untuk memperbaiki keadaan Partai Politik. Antara lain ialah Keputusan MK tentang Calon Perseorangan Pilkada. Karenanya sekali lagi dan lebih intensif diharapkan Keputusan MK untuk menyehatkan dan mendewasakan kehidupan Partai Politik dan perannya di dalam Negara dan Bangsa serta Masyarakat Indonesia.
sumber : DPD RI online online
No comments:
Post a Comment
Tulis komentar anda disini