Selamat Datang di Web Blog Purna Praja STPDN/IPDN Kabupaten Ketapang

16 October 2008

Ilusi Uang

PEMERINTAH tergopoh-gopoh merespons krisis keuangan global yang sedang melanda perekonomian dunia. Krisis keuangan global kali ini memang luar biasa menyita pemberitaan media massa tak hanya global bahkan lokal. Setiap saat beberapa TV lokal menyiarkan perkembangan ekonomi dunia dikaitkan dengan krisis tersebut.

Presiden, wakil presiden beserta para menteri terkait mengadakan rapat darurat setiap hari secara maraton membahas persoalan dampak krisis global terhadap ekonomi Indonesia. Presiden kemudian menyampaikan 10 langkah menghadapi krisis global antara lain kita harus memupuk optimisme dan kerja sama, menjaga momentum pertumbuhan ekspor dan ekonomi, kampanye cinta produk dalam negeri dan lainnya. Bukan hanya itu tetapi Bursa Efek Indonesia (BEI) sebagai penguasa penting bidang keuangan mengambil langkah penghentian sementara perdagangan saham untuk mencegah kemungkinan lebih buruk lagi.
Mengapa terjadi phobia yang demikian serius akan dampak krisis keuangan global ini?
Jawabnya adalah terletak pada cara kita mengelola perekonomian sendiri. Negara ini adalah negara yang sangat kaya akan sumber kehidupan seperti yang diiklankan sebuah partai peserta pemilu 2009. Artinya kita bisa hidup dengan baik tanpa harus bergantung pada bangsa lain. Tetapi faktanya ekonomi kita telah kita kelola sedemikian rupa sehingga kejadian di luar sana selalu menghantui kita. Ekonomi kita digerakkan mengikuti mekanisme kapitalis liberal seperti yang dijalankan negara Barat khususnya era pasca depresi ekonomi tahun 1930-an. Dimana ekonomi akan berjalan jika didukung oleh adanya kegiatan konsumsi yang berkelanjutan. Dengan demikian ada jaminan bahwa produksi barang dan jasa laku terjual. Untuk menjamin permintaan/konsumsi kemudian diperkenalkan berbagai instrumen keuangan seperti kartu kredit dan�sejenisnya sehingga hasrat membeli didukung oleh dana.
Tingginya hasrat konsumsi/membeli dari masyarakat maka muncul pula berbagai lembaga keuangan yang menjadi penyedia kredit. Karena dorongan keuntungan yang tinggi dari bisnis keuangan seperti ini seringkali aspek kehati-hatian diabaikan bahkan tidak jarang mereka justru melakukan manipulasi sehingga masyarakat juga kehilangan kehati-hatian pula. Kejadian ini yang menimpa lembaga keuangan dalam memberikan kredit sektor perumahan di Amerika Serikat yang ternyata melibatkan lembaga keuangan skala internasional dalam jumlah yang besar. Perusahaan keuangan berjatuhan dan pemerintah Amerika menyetujui kebijakan bailout terhadap utang-utang perusahaan ini. Kebijakan serupa diikuti oleh bank-bank sentral utama dunia, meskipun kebijakan ini bertentangan dengan prinsip-prinsip pasar bebas.
Di dunia saat ini sudah tidak ada keseimbangan antara sektor riil dan sektor keuangan. Jumlah uang yang beredar termasuk saham-saham yang juga bisa berfungsi sebagai uang lebih dari lima kali lipat GDP dunia. Kondisi demikian yang menjadikan ekonomi seperti gelembung karena yang tumbuh uang bukan output. Gelembung ini setiap saat bisa meletus baik berupa letupan kecil atau ledakan besar seperti sekarang ini. Bagaimana dengan Indonesia?
Pemerintah Indonesia secara konsisten mengikuti pola pengelolaan seperti di atas. Dari sisi anggaran pemerintah kita selalu menggantungkan pada utang, barangkali perlu digarisbawahi adalah jika dahulu kita bergantung pada utang luar negeri sekarang kita punya banyak instrumen utang. Pemerintah mulai pada tahun 1998 telah meluncurkan instrumen utang yang disebut surat berharga pemerintah (government bond). Jenisnya bervariasi ada Surat Perbendaharaan Nasional (SPN), Obligasi Republik Indonesia (ORI), Surat Utang Negara (SUN) bahkan ada Surat Berharga Syariah Negara (SBSN). Dilihat dari cara pembayaran dan jangka waktunya juga sangat beragam. Kelihatannya hal ini baik-baik saja karena pemerintah akan terus meningkatkan penerbitan surat utang ini. Tetapi sebenarnya ada implikasi luar biasa dari cara pemerintah ini.
Pertama, pemerintah cenderung tidak hati-hati atau takut untuk membuat kebijakan yang tidak efisien dan rasional seperti kenaikan gaji dan berbagai program pemborosan yang lain. Jika ini terus berlangsung akibatnya seperti Amerika dalam melakukan pemborosan anggaran untuk perang. Kedua, adalah dampak yang tak kalah berbahaya yaitu yang disebut efek crowding out. Penerbitan berbagai surat utang pemerintah apalagi dengan bunga yang tinggi akan mengurangi bahkan mematikan investasi swasta. Karena dengan tersedotnya uang masyarakat ke pemerintah maka akan menguras tabungan masyarakat yang diperlukan untuk permodalan. Uang masyarakat yang masuk ke sektor pemerintah kemudian dialokasikan pada kegiatan non produktif akan menghilangkan daya saing ekonomi nasional.
Dengan banyaknya instrumen keuangan yang ditawarkan baik oleh pemerintah dan lembaga keuangan swasta telah menyebabkan pergeseran investasi masyarakat. Investasi masyarakat bergeser dari sektor riil ke sektor keuangan, yang memiliki nilai tambah sangat kecil dan potensial menimbulkan krisis di kemudian hari. Apalagi ditengarai kuat perdagangan saham di BEI mengandung moral hazard. Penghentian perdagangan (suspensi) antara lain didorong oleh terjadinya kemungkinan praktik curang untuk memperoleh keuntungan jangka pendek.
Melihat dari perspektif dimana pemerintah maupun masyarakat telah terjebak dalam ilusi uang yang dalam, maka sudah harus dipertimbangkan lagi sistem ekonomi yang memperkuat fundamental ekonomi kita. Seharusnya presiden/pemerintah lebih peka terhadap masalah ekonomi yang mendera masyarakat dari pada dampak krisis ekonomi Amerika. Jumlah TKI yang terlunta-lunta di negeri orang, jumlah pemudik yang meninggal, penggusuran ekonomi rakyat dan sebagainya tak pernah dibahas sedemikian serius oleh pemerintah. Sebenarnya pengelolaan ekonomi untuk kepentingan siapa. Semoga disadari.sumber : kr.co.id

No comments:

Post a Comment

Tulis komentar anda disini

Total pageviews bulan ini